Beranda | Artikel
Bolehkah Memata-Matai Suami?
Senin, 28 Maret 2016

BOLEHKAH MEMATA-MATAI SUAMI?

Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin MA

Pertanyaan.
Assalamu’alaikum Ustadz! Sebelumnya kami minta maaf. Sebatas yang kami ketahui ada larangan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain). Apa larangan tajassus ini berlaku mutlak ataukah ada pengecualiannya? Apakah ada dalilnya? Misalnya, istri mematai-matai suami karena curiga suaminya selingkuh atau polisi yang memata-matai seseorang yang diduga pelaku kejahatan atau seseorang yang mengecek handphone temannya untuk memeriksa apa ada video porno atau tidak. Trims

Jawaban.
Semoga Allâh Azza wa Jalla melindungi anda dan pembaca sekalian dari perkara yang membuat Allâh murka dan segala tindakan yang menzhalimi orang lain. Tajassus adalah mencari-cari kesalahan dan aib orang lain serta memata-matai apa yang mereka sembunyikan.[1] Pada asalnya, semua bentuk tajassus diharamkan; karena pada dasarnya seorang Muslim bersih dari aib dan perkara tercela.

Namun ada tajassus yang diperbolehkan untuk mewujudkan maslahat tertentu atau menghindarkan mafsadat. Misalnya spionase terhadap musuh negara Islam,  mengantisipasi pencurian dan perampokan, menghindarkan aksi teroris dan membasmi penyakit akhlak di masyarakat.

Di antara dalilnya adalah hadits berikut:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ‏‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏‏يَوْمَ الأَحْزَابِ:‏‏ مَنْ يَأْتِينَا بِخَبَرِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ ‏الزُّبَيْرُ:‏ ‏أَنَا، ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَأْتِينَا بِخَبَرِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ ‏‏الزُّبَيْرُ:‏ ‏أَنَا، ثُمَّ قَالَ: مَنْ يَأْتِينَا بِخَبَرِ الْقَوْمِ؟ فَقَالَ ‏‏الزُّبَيْرُ:‏ ‏أَنَا، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ لِكُلِّ نَبِيٍّ حَوَارِيًّا، وَإِنَّ حَوَارِيَّ ‏الزُّبَيْرُ‏.

Saat Perang Ahzâb, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapa yang bisa membawa kabar dari musuh (memata-matai mereka)?” Az-Zubair (bin ‘Awwam) berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi,  “Siapa yang bisa membawa kabar musuh?” Az-Zubair berkata, “Saya.” Beliau bertanya lagi,  “Siapa yang bisa membawa kabar musuh?” Az-Zubair menjawab, “Saya.” Kemudian Rasûlullâh bersabda, “Sungguh setiap nabi punya penolong, dan penolong saya adalah az-Zubair.” [HR. al-Bukhâri no. 4113 dan Muslim no. 2.414]

Berdasarkan kaidah di atas, bisa kita jawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan sebagai berikut:
1. Isteri tidak boleh memata-matai suami hanya karena kecurigaan semata. Selayaknya prasangka-prasangka dihindarkan dalam rumah tangga, karena sebagian prasangka adalah dosa. Jangan sampai kecemburuan menyeret kepada prasangka yang bisa merusak rumah tangga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang kecurigaan seperti ini seperti dijelaskan dalam hadits:

عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرَقَ الرَّجُلُ أهلَهُ لَيْلاً يَتَخَوَّنُهُمْ، أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ

Dari Jabir beliau berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang yang pulang dari perjalanan jauh untuk mendatangi keluarganya di malam hari dengan tiba-tiba karena menyangka mereka berkhianat atau untuk mencari (memergoki) kesalahan-kesalahan mereka.” [HR. Muslim, no. 715]

Sebaliknya saling percaya dan berbaik sangka (husnuzhan) di antara pasangan akan membuat rumah tangga harmonis. Lebih baik mendoakan pasangan hidup agar dijauhkan dari dosa dan maksiat. Seorang wanita bercerita bahwa ia pernah memata-matai suaminya, dan selama itu dia merasakan kegundahan. Saat mendengar bahwa hal itu dilarang agama, dia meninggalkannya dan mendoakan kebaikan untuk suaminya. Maka kehidupan rumahtangganya menjadi harmonis dan bahagia.[2]
Namun jika tanpa tajassus ada bukti meyakinkan yang sampai ke istri tentang perselingkuhan suami, hendaknya isteri menempuh jalan yang disyariatkan berupa nasehat dan ishlâh melalui orang yang ditokohkan di keluarga atau pengadilan. Jika upaya-upaya ini tidak membuahkan hasil, isteri bisa mengajukan talak atau khulu’.

2. Polisi boleh memata-matai orang yang dicurigai sebagai pelaku kejahatan untuk mengantisipasi terjadinya kejahatan atau menyelamatkan masyarakat dengan menangkap orang tersebut.  Harus ada alasan kuat untuk memata-matai, dan polisi tidak boleh memata-matai rakyat yang tidak bersalah.[3]

3. Tidak boleh mencari-cari aib orang lain pada barang-barang yang dimilikinya seperti handphone atau komputer.[4] Namun jika tanpa tajassus kita menemukan file yang tidak dibolehkan syariat di handphone teman kita, atau ada laporan bahwa teman kita menyimpan file tersebut, hendaknya ia dinasehati agar takut kepada Allâh dan menghapusnya.

Demikian pula para orang tua dan guru, jika tanpa tajassus mendapati bahwa anak-anak dan murid-murid mereka menyimpan barang-barang atau file yang diharamkan, hendaknya segera menasehati dan mengarahkan mereka, sebelum api membesar dan tidak bisa dikendalikan lagi. Sebagian Ulama berpendapat, boleh untuk sesekali memeriksa handphone atau komputer mereka untuk pendidikan, bukan untuk membongkar aib dan kesalahan mereka. Hal itu sebaiknya dilakukan depan mereka, tidak secara diam-diam. [5]

Wallahu A’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XVIII/1435H/2043. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
________
Footnote
[1] Syarh Shahîh Muslim, an-Nawawi 16/119.
[2] Lihat di: http://forum.al-qma.com/t740039.html
[3] Lihat: Fatawa Lajnah Daimah no. 3429
[4] Fatawa Nur ‘ala Darb, al-‘Utsaimin. Lihat transkripnya di: http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_5202.shtml
[5] Fatwa Syaikh Shâlih al-Fauzan


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4516-bolehkah-mematamatai-suami.html